Oleh: agussuharto | 15 Mei 2009

KPU harus bertanggung Jawab

Pesta demokrasi yang diselenggarakan Indonesia kali ini sangat tidak membuat rakyat akan puas untuk menentukan pilihan wakilnya di DPR. Berdasarkan fakta yang ada dilapangan, pelaksanaan pemungutan suara penuh dengan kecurangan dan kesemrawutan sistem. Sistem pemilu yang sekarang ini memang memicu timbulnya kecurangan-kecurangan, terutama money politik, di daerah-daerah pedesaan, yang notabene warga desa tingkat atusiasme untuk memilih masih sangat  tinggi daripada warga perkotaan. Berdasarkan penelusuran kami di lapangan, kami menemukan banyak caleg yang menarik minat pemilih dengan iming-iming uang……” Sebut saja jono( bukan nama asli) mengatakan mendapat amplop yang berisi uang dari beberapa caleg, salah satu diantaranya adalah salah seorang anak Orang penting…., Ungkapnya…” biasa masss Ini iseng-iseng sebagai pengganti kami libur kerja karena memilih….” maklum saya cuma supir angkot kan kalo libur tidak ada penghasilan hari ini…Sedang keluarga kami kan butuh makan juga…makanya saya terima pemberian itu..”. Selain kecurangan – kecurangan lainya yang lebih memilukan adalah kinerja KPU yang sangat lambat dan anggotanya santai aja menjawab di media seolah hanya mencari aman, agar tidak terkena sanksi pidana berdasar undan-undang pemilu. Seperti tabulasi Nasional yang memakan anggaran miliaaran rupiah harus sia-sia tanpa hasil, dan begitu juga pengumuman hasil final perolehan kursi DPR dan nama-nama caleg yang diralat KPU kemarin bukan hanya mengecewakan caleg yang tergeser atau partai politik tertentu yang jatah kursinya berkurang, tapi juga termasuk warga yang netral alias golput juga sangat kecewa terhadap kinerja KPU. KPU terkesan  tidak profesional dan tidak siap untuk menyelenggarakan pemilu mana mungkin misalkan saja di umpamakan di pemiliha kepala desa, seorang yang sudah dinyatakan menang kemudian di ralat dan di ganti dengan yang lain… betapa kecewanya caleg yang tergeser akibat KPU yang tidak tepat menyampaikan pengumuman…..Ini adalah negara pak/ bu..jangan dijadikan mainan atau coba-coba hanya sekadar nongkrong nyari nama  di KPU tanpa bekal kemampuan dan pengalaman yang cukup….., KPU harus bertanggung jawab atas kesemrawutan dan kecurangan pemilu legislatif  9 april kemarin, KPU harus di tuntut sesuai hukum dan perundangan pemilu yang ada demi keadilan, dan terwujudnya pemilu yang jujur dan adil di masa yang akan datang, dan hal ini mudah-mudahan dapat dijadikan pelajaran bagi warga negara yang akan mencalonkan diri menjadi Anggota KPU yang akan datang, Apabila tidak mumpuni dan mempunyai kemampuan dan pengalaman yang cukup lebih baik berikan kesempatan itu pada yang lebih punya kemampuan dibidang ini…, jangan hanya modal nekat/ coba-coba….demi kejayaan bangsa in.

  • Agus suharto.
Oleh: agussuharto | 12 Mei 2009

TEMPAT-TEMPAT KERAMAT DI GUNUNG LAWU

Nama asli gunung Lawu adalah Wukir Mahendra. Menurut legenda, gunung Lawu merupakan kerajaan pertama di pulau Jawa yang dipimpin oleh raja yang dikirim dari Khayangan karena terpana melihat keindahan alam diseputar Gn. Lawu. Sejak jaman Prabu Brawijaya V, raja Majapahit pada abad ke 15 hingga kerajaan Mataram II banyak upacara spiritual diselenggarakan di Gunung Lawu. Hingga saat ini Gunung Lawu masih mempunyai ikatan yang erat dengan Keraton Surakarta dan Keraton Yogyakarta terutama pada bulan Suro, para kerabat Keraton sering berjiarah ke tempat-tempat keramat di puncak Gn.Lawu.
Terdapat padang rumput pegunungan banjaran Festuca nubigena yang mengelilingi sebuah danau gunung di kawah tua menjelang Pos terakhir menuju puncak pada ketinggian 3.200 m dpl yang biasanya kering di musim kemarau. Konon pendaki yang mandi berendam di tempat ini, segala keinginannya dapat terkabul. Namun sebaiknya jangan coba-coba untuk mandi di puncak gunung karena airnya sangat dingin. Rumput yang tumbuh di dasar telaga ini berwarna kuning sehingga airnya kelihatan kuning. Telaga ini diapit oleh puncak Hargo dumilah dengan puncak lainnya. Luas dasar telaga Kuning ini sekitar 4 Ha.
Terdapat sebuah mata air yang disebut Sendang Drajad, sumber air ini berupa sumur dengan garis tengah 2 meter dan memiliki kedalaman 2 meter. Meskipun berada di puncak gunung sumur ini airnya tidak pernah habis atau kering walaupun diambil terus menerus. Air sendang ini dipercaya dapat memberikan mujijat bagi orang yang meminumnya. Juga terdapat bangunan yang berupa bilik-bilik untuk mandi, karena para pejiarah disarankan untuk menyiram badannya dengan air sendang ini dalam hitungan ganjil.
Juga ada sebuah gua yang disebut Sumur Jolotundo menjelang puncak, gua ini gelap dan sangat curam turun ke bawah kurang lebih sedalam 5 meter. Gua ini dikeramatkan oleh masyarakat dan sering dipakai untuk bertapa. Sumur ini berupa lubang bergaris tengah sekitar 3 meter. Untuk turun ke dalam sumur harus menggunakan tali dan lampu senter karena gelap. Di dalam sumur terdapat pintu goa dengan garis tengah 90 cm. Konon di dalam sumur Jolotundho ini sering digunakan untuk bertapa, dan digunakan guru-guru untuk memberi wejangan/pelajaran kepada muridnya.
Terdapat sebuah bangunan di sekitar puncak Argodumilah yang disebut Hargo Dalem utuk berjiarah, disinilah tempatnya Eyang Sunan Lawu. Tempat bertahta raja terakhir Majapahit memerintah kerajaan Makhluk halus. Hargo Dalem adalah makam kuno tempak mukswa Sang Prabu Brawijaya. Pejiarah wajib melakukan pisowanan (upacara ritual) sebanyak tujuh kali untuk dapat melihat penampakan Eyang Sunan Lawu. Namun tidak jarang sebelum melakukan tujuh kali pendakian, pejiarah sudah dapat berjumpa dengan Eyang Sunan Lawu.
Di sekitar Hargo Dalem ini banyak terdapat bangunan dari seng yang dapat digunakan untuk bermalam dan berlindung dari hujan dan angin. Terdapat warung makanan dan minuman yang sangat membantu bagi pendaki dan pejiarah yang kelelahan, lapar, dan kedinginan. Inilah keunikan Gunung Lawu dengan ketinggian 3.265 mdpl, terdapat warung di dekat puncaknya.
Pasar Diyeng atau Pasar Setan, berupa prasasti batu yang berblok-blok, pasar ini hanya dapat dilihat secara gaib. Pasar Diyeng akan memberikan berkah bagi para pejiarah yang percaya. Bila berada ditempat ini kemudian secara tiba-tiba kita mendengar suara “mau beli apa dik?” maka segeralah membuang uang terserah dalam jumlah berapapun, lalu petiklah daun atau rumput seolah-olah kita berbelanja, maka sekonyong-konyong kita akan memperoleh kembalian uang dalam jumlah yang sangat banyak. Pasar Diyeng/Pasar Setan ini terletak di dekat Hargo Dalem.
Pawom Sewu terletak di dekat pos 5 Jalur Cemoro Sewu. Tempat ini berbentuk tatanan/susunan batu yang menyerupai candi. Dulunya digunakan bertapa para abdi Raja Parabu Brawijaya V.
Puncak Argodumilah pada saat tertutup awan sangat indah, kita menyaksikan beberapa puncak lainnya seperti pulau – pulau kecil yang dibatasi oleh lautan awan, kita merasa berada di atas awan-awan seperti di kahyangan. Bila udara bersih tanpa awan kita bisa melihat Samudera Indonesia. kita dapat melihat pantulan matahari di Samudera Indonesia, deburan dan riak ombak Laut Selatan sepertinya sangat dekat. Sangat jelas terlihat kota Wonogiri juga kota-kota di Jawa Timur. Tampak waduk Gajah mungkur juga telaga Sarangan.

MISTERI GUNUNG LAWU

Gunung Lawu bersosok angker dan menyimpan misteri dengan tiga puncak utamanya : Harga Dalem, Harga Dumilah dan Harga Dumiling yang dimitoskan sebagai tempat sakral di Tanah Jawa. Harga Dalem diyakini masyarakat setempat sebagai tempat pamoksan Prabu Bhrawijaya Pamungkas, Harga Dumiling diyakini sebagai tempat pamoksan Ki Sabdopalon, dan Harga Dumilah merupakan tempat yang penuh misteri yang sering dipergunakan sebagai ajang menjadi kemampuan olah batin dan meditasi.
Konon kabarnya gunung Lawu merupakan pusat kegiatan spiritual di Tanah Jawa dan ada hubungan dekat dengan tradisi dan budaya keraton, semisal upacara labuhan setiap bulan Sura (muharam) yang dilakukan oleh Keraton Yogyakarta. Dari visi folklore, ada kisah mitologi setempat yang menarik dan menyakinkan siapa sebenarnya penguasa gunung Lawu dan mengapa tempat itu begitu berwibawa dan berkesan angker bagi penduduk setempat atau siapa saja yang bermaksud tetirah dan mesanggarah.
Siapapun yang hendak pergi ke puncaknya bekal pengetahuan utama adalah tabu-tabu atau weweler atau peraturan-peraturan yang tertulis yakni larangan-larangan untuk tidak melakukan sesuatu, baik bersifat perbuatan maupun perkataan, dan bila pantangan itu dilanggar di pelaku diyakini bakal bernasib naas.
Cerita dimulai dari masa akhir kerajaan Majapahit (1400 M). Alkisah, pada era pasang surut kerajaan Majapahit, bertahta sebagai raja adalah Sinuwun Bumi Nata Bhrawijaya Ingkang Jumeneng kaping 5 (Pamungkas). Dua istrinya yang terkenal ialah Dara Petak putri dari daratan Tiongkok dan Dara Jingga. Dari Dara Petak lahir putra Jinbun Fatah, dari Dara Jingga lahir putra Pangeran Katong.
Jinbun Fatah setelah dewasa menghayati keyakinan yang berbeda dengan ayahandanya yang beragama Budha. Jinbun Fatah seorang muslim. Dan bersamaan dengan pudarnya Majapahit, Jinbun Fatah mendirikan Kerajaan di Glagah Wangi (Demak). Melihat situasi dan kondisi yang demikian itu , masygullah hati Sang Prabu. Akankah jaman Kerta Majapahit dapat dipertahankan?
Sebagai raja yang bijak, pada suatu malam, dia pun akhirnya bermeditasi memohon petunjuk Sang Maha Kuasa. Dan wisik pun datang, pesannya : sudah saatnya cahaya Majapahit memudar dan wahyu kedaton akan berpindah ke kerajaan yang baru tumbuh serta masuknya agama baru (Islam) memang sudah takdir dan tak bisa terelakkan lagi.
Pada malam itu pulalah Sang Prabu dengan hanya disertai pemomongnya yang setia Sabdopalon diam-diam meninggalkan keraton dan melanglang praja dan pada akhirnya naik ke Puncak Lawu. Sebelum sampai di puncak, dia bertemu dengan dua orang umbul (bayan/ kepala dusun) yakni Dipa Menggala dan Wangsa Menggala. Sebagai abdi dalem yang setia dua orang umbul itu pun tak tega membiarkan tuannya begitu saja. Niat di hati mereka adalah mukti mati bersama Sang Prabu . Syahdan, Sang Prabu bersama tiga orang abdi itupun sampailan di puncak Harga Dalem.
Saat itu Sang Prabu bertitah : Wahai para abdiku yang setia sudah saatnya aku harus surut, aku harus muksa dan meninggalkan dunia ramai ini. Kepada kamu Dipa Menggala, karena kesetiaanmu kuangkat kau menjadi penguasa gunung Lawu dan membawahi semua mahluk gaib (peri, jin dan sebangsanya) dengan wilayah ke barat hingga wilayah Merapi/Merbabu, ke Timur hingga gunung Wilis, ke selatan hingga Pantai selatan , dan ke utara sampai dengan pantai utara dengan gelar Sunan Gunung Lawu. Dan kepada Wangsa Menggala, kau kuangkat sebagai patihnya, dengan gelar Kyai Jalak.
Suasana pun hening dan melihat drama semacam itu, tak kuasa menahan gejolak di hatinya, Sabdopalon pun memberanikan diri berkata kepada Sang Prabu: Bagaimana mungkin ini terjadi Sang Prabu? Bila demikian adanya hamba pun juga pamit berpisah dengan Sang Prabu, hamba akan naik ke Harga Dumiling dan meninggalkan Sang Prabu di sini. Dan dua orang tuan dan abdi itupun berpisah dalam suasana yang mengharukan.
Singkat cerita Sang Prabu Barawijaya pun muksa di Harga Dalem, dan Sabdopalon moksa di Harga Dumiling. Tinggalah Sunan Lawu Sang Penguasa gunung dan Kyai Jalak yang karena kesaktian dan kesempurnaan ilmunya kemudian menjadi mahluk gaib yang hingga kini masih setia melaksanakan tugas sesuai amanat Sang Prabu Brawijaya.
Tempat-tempat lain yang diyakini misterius oleh penduduk setempat selain tiga puncak tersebut yakni: Sendang Inten, Sendang Drajat, Sendang Panguripan, Sumur Jalatunda, Kawah Candradimuka, Repat Kepanasan/Cakrasurya, dan Pringgodani. Bagaimana situasi Majapahit sepeninggak Sang Prabu? Konon sebagai yang menjalankan tugas kerajan adalah Pangeran Katong. Figur ini dimitoskan sebagai orang yang sakti dan konon juga muksa di Ponorogo yang juga masih wilayah gunung Lawu lereng Tenggara.

Oleh: agussuharto | 12 Mei 2009

Larung tumpeng telaga sarangan untuk keselamatan

August 11, 2008

Tradisi Larung Tumpeng di Telaga Sarangan Magetan adalah satu cara untuk melestarikan budaya Jawa bagi masyarakat Magetan. Tradisi yang dilakukan dalam nuansa ritual ini dilakukan demi keselamatan warga Kabupaten Magetan.

Kali ini Pemerintah setempat menggelar acara Labuh Sesaji Gono Bahu dengan melarungkan tumpeng hasil bumi di tengah telaga Pasir Sarangan. Larung Sesaji dengan melarungkan satu buah tumpeng setinggi 3 meter di ikuti 2 gunungan palawija yang berisikan hasil bumi asli warga Magetan meliputi padi (nasi), pala wija, kentang, wortel, jagung dan sayur – sayuran lainnya.

Dari pantauan moderatofm.com, tumpeng di arak mulai Kantor Kelurahan Sarangan hingga telaga sejauh 1 Km yang di ikuti oleh sekitar 300 pengiring terdiri dari prajurit dan para danyang yang di sambut sekitar 500 pengunjung warga Magetan dan sekitarnya.

Rudi subagyo Ketua penyeleggara kepada Moderatofm.com menjelaskan bahwa acara Labuh sesaji rutin di selenggarakansetiap setahun sekali pada bulan Jawa Ruwah yang juga dengan tujuan untuk menyedot wisatawan.

Sementara itu Sumantri Bupati Magetan kepada Moderatofm.com menjelaskan Pemkab Magetan mentargetkan pengunjung yang saat ini 500 ribu pertahun menjadi 3 juta wisatwan pertahun.

Tradisi Larung Tumpeng ini juga membuat arus lalu lintas di pinggir telaga macet akibat padatnya pengunjung

Oleh: agussuharto | 12 Mei 2009

Golkar magetan Targetkan 12 Kursi DPRD

Magetan (ANTARA News) – Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Partai Golkar Magetan menargetkan 12 kursi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dalam Pemilihan Umum (Pemilu) Anggota DPR, DPD, dan DPRD, yang dijadwalkan 9 April mendatang.

Ketua DPC Partai Golkar Magetan, Rudi Supeno, Sabtu, optimistis dapat meraih target tersebut.

“Bahkan, strategi-strategi pemenangan melalui pembagian wilayah beserta juru kampanye telah kami siapkan sejak awal,” ujarnya.

Menurut dia, guna pemenuhan target tersebut, pihaknya telah melakukan penggalangan massa dan persiapan kader jauh hari sebelum pelaksanaan kampanye pemilu legislatif, yang dijadwalkan 16 Maret 2009.

“Kalau dalam kampanye pemilu sebelumnya kami lebih banyak menggunakan orang luar, pada pemilu kali ini kami optimalkan para kader,” katanya.

Terkait tahapan kampanye, dia menjelaskan, partainya akan menyiapkan sekitar 33 juru kampanye (jurkam) yang akan disebar di lima daerah pemilihan (dapil) yang ada di Magetan.

“Masing-masing dapil akan mendapat lima jurkam dari calon legislatif (caleg) setempat, ditambah dengan delapan caleg dari tingkat provinsi dan pusat,” katanya menerangkan.

Rudi menambahkan, saat kampanye damai pada hari Senin (16/3), pihaknya akan mengerahkan tiga armada yang diisi sejumlah caleg dan tim pemenangan.

“Pasukan itu belum termasuk sejumlah caleg lain yang menggunakan pendekatan berbeda guna penggalangan massa. Jurkam harus berani turun melihat penderitaan rakyat secara langsung,” katanya menegaskan.(*)

Oleh: agussuharto | 12 Mei 2009

Gugatan Calon Bupati Magetan Ditolak

Surabaya – Gugatan pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati Magetan, Miratul Mukminin dan Djarno (Radja) kepada Komisi Pemilihan Umum Magetan ditolak oleh Mahkamah Agung melalui putusan majelis hakim Pengadilan Tinggi di Surabaya hari ini (Rabo 9/7).

“Gugatan kami ditolak majelis hakim,” kata Rahardjo, kuasa hukum pasangan Radja kepada Tempo.

Rahardjo mengatakan, berdasarkan surat putusan nomor 04/Pilkada/2008/ PT Surabaya, ketua majelis hakim Purwanto, berpendapat materi pelanggaran yang disampaikan penggugat, proses hukumnya adalah kewenangan Panitia Pengawas Pemilihan Bupati Magetan.

Gugatan Radja ini ditolak setelah majelis hakim menggelar persidangan beberapa kali dengan meminta kesaksian dari 10 orang pasangan Radja dan empat saksi anggota KPU Magetan.

Rahardjo mengatakan, meskipun gugatannya ditolak, dalam persidangan terbukti ada pelanggaran dalam Pemilihan Bupati di Magetan.

Seperti diketahui, 8 Juni lalu pasangan Radja yang diusung Partai Golongan Karya menggugat KPU Magetan karena menilai pemilihan Bupati Magetan ada sejumlah pelanggaran. “Ada ribuan warga yang tidak masuk dalam Daftar Pemilih Tetap,” kata Rahardjo.

Atas kekalahan ini, Indra Priangkasa, salah satu anggota tim pemenangan Radja menyatakan kecewa. “Kami akan menempuh upaya hukum lainnya,” katanya.

Seperti pernah diberitakan Tempo, pemilihan Bupati Magetan pada 11 Juni lalu dimenangi pasangan Sumantri – Samsi (SMS) dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dengan mendapat 155.525 suara. Sedangkan pasangan Radja mendapat 153.218 suara.

Oleh: agussuharto | 12 Mei 2009

Petani Jeruk Pamelo Magetan

Petani jeruk Pamelo di Kabupaten Magetan, Jatim, masih kesulitan memasarkan sendiri hasil panen mereka.

Magetan, 20/4 (Regional.Roll) – Petani jeruk Pamelo di Kabupaten Magetan, Jatim, masih kesulitan memasarkan sendiri hasil panen mereka.

Pengurus Kelompok Tani Sumber Mas, Desa Tambakmas, Kecamatan Sukomoro, Sukar, Senin, mengatakan, sampai saat ini pemasaran pamelo masih dilakukan oleh pedagang pengepul lokal secara perorangan.

“Sistem penjualan kami biasanya buah jeruk yang sudah siap panen langsung dibeli dengan harga yang disepakati kedua oleh pihak atau disebut dengan sistem “tebasan”. Meski akhirnya dijual ke luar kota seperti Semarang dan Jakarta, keuntungan kami juga belum maksimal,” katanya.

Bahkan menurut dia, sejumlah pengepul terkadang membeli ketika buah belum saatnya panen. Pihaknya sangat berharap agar pemasaran jeruk Pamelo dapat dilakukan secara profesional melalui kontrak kerja sama.

“Kami ingin, pemasaran jeruk kami diperhatikan oleh pemda setempat agar harga jual jeruk kami tinggi,” katanya.

Lebih lanjut ia menjelaskan, manajemen pengolahan dan pemasaran jeruk pamelo setelah panen yang masih belum terlalu diperhatikan ini membuat harga jual jeruk di tingkat petani berbeda jauh dengan harga jual di tingkat konsumen.

“Saat ini harga jual di tingkat petani hanya Rp2.000 per buah. Sedangkan di pasaran harga bisa mencapai Rp5.000 hingga Rp7.000 per buah. Ini masih diperparah lagi jika jeruk dari daerah lain seperti Sulawesi dan Bali juga panen. Sehingga stok di pasaran menumpuk,” terangnya.

Selain itu, lanjutnya, kendala lainnya adalah jika jeruk terserang penyakit, kerugian petani bisa berlipat ganda. Idealnya, tanaman jeruk bisa dipanen pertama pada usia tiga tahun dan selanjutnya bisa dipanen hingga lima kali. Setelah lima kali panen petani harus mengganti tanaman jeruknya.

“Namun, kebanyakan petani tidak mengganti tanaman jeruknya karena juga terkendala benih. Meski bantuan benih jeruk dari pemerintah daerah setempat juga diberikan sesekali,” katanya.

Sementara itu, Kepala Bidang Tanaman Holtikultura, Dinas Pertanian Magetan, Agus Supriatna, mengakui, jika keluhan dari petani tersebut dipengaruhi juga oleh kurangnya promosi dari Pemerintah Kabupaten Magetan. Meski demikian, pihaknya didukung pihak terkait telah berupaya untuk meningkatkan komoditas asli Magetan ini.

“Kita akan gencar berpromosi dengan menjadikan jeruk Pamelo sebagai salah satu ikon daerah Magetan selain dikenal dengan Telaga Sarangan,” katanya.

Selain itu, pihaknya juga memberikan bantuan modal bagi kelompok tani yang ada untuk bantuan benih, pupuk, obat-obatan, dan penyuluhan teknologi tanaman,” katanya menambahkan.

Daerah Magetan yang terkenal sebagai sentra penghasil Jeruk Pamelo adalah Kecamatan Bendo, Takeran, Sukomoro, dan Kawedanan (Betasuka). Luas lahan yang dikembangkan untuk komoditas ini mencapai 1.979 hektare dengan jumlah produksi mencapai 278.620 kuintal per tahun. (

Oleh: agussuharto | 12 Mei 2009

Pasar Wisata Plaosan

TIAP hari, kegiatan Pasar Umum Plaosan, di Kecamatan Plaosan-kecamatan di kaki Gunung Lawu, arah barat Kota Magetan-dimulai sekitar pukul 03.30 pagi. Saat banyak warga lain masih nyenyak, tidur “dibalut” dinginnya pagi, ribuan wanita petani sayur-mayur, dan wanita pedagang, sudah berjual-beli sayuran.

Hawa dingin di Plaosan yang suhunya berkisar antara 18-25 derajat Celcius, tak menghalangi para perempuan, yang sudah setiap hari bertani dan menjual sayurannya ke pasar. Mereka yang rumahnya tak begitu jauh, sekitar satu hingga lima kilometer dari pasar, membawa sayurannya dengan keranjang bambu. Mereka, ada yang berjalan kaki, namun tak sedikit pula yang naik ojek.

Bagi yang tinggal jauh dari pasar, membawa hasil taninya dengan naik mobil bak terbuka. Sumirah, warga Desa Pacalan yang jaraknya 30 kilometer lebih dari Pasar Plaosan, adalah salah seorang yang tiap pagi membawa ubi jalar, tomat, dan kubis, dari desanya. “Kulo pun mboten kelingan, kawit tahun pinten. Pokokipun kawit kulo alit (Saya tidak ingat sejak tahun berapa mulainya. Yang jelas sejak saya masih kecil-Red),” tutur perempuan berusia 50-an tahun itu kepada Kompas, Minggu (21/10) pagi.

Pada Minggu pagi sekitar pukul 05.00 itu, hasil tani yang dibawa Sumirah dan kawan-kawan, sudah banyak yang berpindah tangan ke para pedagang. Halaman Pasar Plaosan yang tergolong luas, dipadati sayur-mayur di segala sisi. Kebanyakan, sayur-sayuran itu hanya dialasi terpal atau kertas koran bekas, dan proses jual beli pun terjadilah.

Sayur yang dijual komplet macamnya. Mulai dari hijau-hijauan seperti bayam, kangkung, sawi, buncis, selada, dan kacang-kacangan, sampai tomat, bawang merah dan putih, wortel, serta kentang. Seluruh wanita, baik dari kalangan petani sayur maupun pedagang, tampak sangat sibuk. Setidaknya, itu tampak dari tidak hiraunya mereka terhadap orang yang cuma bertanya-tanya. Sebaliknya, mereka sangat tergila-gila kepada pembeli.

Sutinah, seorang pedagang sayur mengungkapkan, Pasar Plaosan memang dikenal sebagai pusat sayur-mayur di Magetan. “Pedagang-pedagang sayur di pasar-pasar di Kota Magetan, banyak yang beli sayur di sini, untuk dijual di bawah (kota-Red). Dari dulu, kalau orang cari sayur, ya, di sini,” tuturnya.

Ia mengisahkan, saat ini panen sayur di Plaosan, kurang begitu bagus. Sehingga, harga sayur di pasaran relatif naik. Harga selada air misalnya, yang tadinya Rp 250 per ikat, kini laku dijual seharga Rp 500 per ikat. Bayam, yang sebelumnya Rp 100 per ikat, bisa menjadi Rp 200 per ikat.

Biasanya, sejak pukul 03.30 hingga pukul 07.00, pedagang masih boleh menggelar dagangannya di halaman pasar. Namun, di atas pukul 07.00, mereka harus masuk ke tempat dasaran di dalam pasar. “Saya biasanya pulang nanti jam 12 atau jam 1 siang. Tergantung kapan sayuran ini habis,” ujarnya.

***

SELAIN dijual di pasar, ada juga sejumlah perempuan Plaosan yang menjadikan sebagian sayur-mayur di lahan pertanian mereka, sebagai modal untuk berjualan nasi pecel. Di kawasan wisata Telaga Sarangan, yang termasuk wilayah Kelurahan Sarangan, Kecamatan Plaosan, puluhan wanita penjual nasi pecel gendongan, menawarkan dagangannya secara door to door.

Mereka aktif mendatangi tamu-tamu hotel dan losmen di sekitar Sarangan, terutama jika pagi hari. Sunarti, warga Desa Gopakan, Kecamatan Plaosan, adalah salah satu dari mereka. Dikisahkannya, sekitar 80 orang perempuan asal desanya, berjualan nasi pecel dari hasil kebunnya sendiri.

Hampir setiap hari, para perempuan itu melintasi jalan berkelak-kelok, dan menempuh jarak 10 kilometer, dari Gopakan ke Sarangan. “Biasanya saya naik Colt angkutan umum, Rp 1.500 tarifnya,” ujar Sunarti yang berjilbab itu. Harga satu porsi nasi pecel buatan Sunarti, adalah Rp 2.500. Itu untuk harga porsi komplet, termasuk satu tempe goreng, peyek kacang, dan telur mata sapi.

Jika pengunjung Telaga Sarangan sedang ramai, ia mengaku bisa meraih keuntungan sekitar Rp 15.000. Sebaliknya, jika sedang sepi, mendapat untung Rp 7.000 saja sudah bagus. Pedagang pecel sepertinya, lanjut Sunarti, pendapatannya memang sangat tergantung ramai-sepinya wisatawan Sarangan.

Cerita tentang Sumirah yang menjual sayur hasil ladangnya ke pasar, Sutinah yang berjualan sayur-mayur di pasar, dan Sunarti yang berjualan nasi pecel dari sayur di ladangnya, menampakkan betapa kuatnya Kecamatan Plaosan di Kabupaten Magetan, sebagai sentra hortikultura di kota itu.

Kawasan Plaosan, sudah terbentuk sebagai sentra pertanian hortikultura. Bahkan, terbentuknya Plaosan itu bukan akhir-akhir ini saja, namun juga puluhan tahun lalu. Kini, bukan lagi soal menciptakan sentra itu yang menjadi masalah. Yang kini harus segera dilakukan adalah meningkatkan posisi tawar petani hortikultura, dalam menentukan harga sayur saat panen, demi meningkatnya kesejahteraan mereka.

Sudah menjadi rahasia umum, bahwa petani adalah satu-satunya produsen yang tidak mempunyai kemampuan tawar-menawar, bila berhadapan dengan pedagang, apalagi pedagang besar. Sehingga, harga sayur-mayur banyak yang tertahan di kisaran lebih rendah daripada Rp 1.000.

Pemerintah Kabupaten Magetan, yang menjadikan pertanian sayur-mayur sebagai salah satu sendi ekonomi rakyatnya, memiliki kewajiban moril untuk ikut membantu petani sayur, dalam menentukan harga yang menguntungkan bagi petani. Mampukah? Tidak ada alternatif jawaban, selain “Harus mampu”. (Agus Suharto,A.MD.Tek)

Oleh: agussuharto | 12 Mei 2009

Cemorosewu-sarangan Pass

Tanggal 15-18 September 2008 kemarin kami berlima dari Tim IT kantor kami mengunjungi kantor client di Madiun untuk membantu penerapan ERP untuk IT/Business Alignment mengingat kegiatan bisnis client yang semakin meningkat pesat akhir-akhir ini yang harus dibarengi dengan penataan IT mereka.

Hari Senin pagi tanggal 15 September saya dan kawan-kawan group “Koko Bento” (artinya “yang tinggal di BSD alias Bekasi Sono Dikit”) janji untuk rendezvous di ujung masuk jalan tol di daerah Bulog. Rendezvous pukul 05.30, jadi saya datang di tempat “ground zero” pada pukul 05.35 diantar Satpam Kompleks yang menawarkan diri jadi tukang ojek amatir. Pukul 05.40 datang kawan lainnya, Satrio yang diantar adiknya. Pukul 05.45 taksi Express (the second best taxi in Jakarta) yang dicharter Pak Amin datang di “ground zero”. Tinggal menunggu Pak Herry yang datang belakangan pada pukul 05.48…
Pagi itu walaupun hari Senin, tapi karena di bulan Puasa mungkin orang akan “hitting the road” agak siangan. Jadi jalan dari Jatiwarna ke airport Soekarno-Hatta bisa dibilang lancar-lancar saja. Pak Sopir tua yang asli Kabanjahe-pun menyetir dengan santai di tengah2 lalu lintas yang sepi. Kami datang di airport sekitar 1 1/4 jam kemudian yaitu pada pukul 06.00.
Hari masih terlihat pagi dan Pak Yudi yang mengepalai rombongan ini belum datang, karena ia yang satu-satunya tinggal di BSD (Bumi Serpong Damai) beneran ! Kamipun masih sempat brainstorming di halaman terminal 1C yang tumben pagi itu masih sepi. Membahas apa beda ERP full size bila dibandingkan dengan menggabungkan aplikasi-aplikasi IT yang sudah ada dengan menaruh sebuah middleware “di atas” nya yang biasa disebut dengan “best of breed”.
Pada pukul 06.15 kamipun masuk bandara. Security check seperti biasa, kamipun sudah di depan counter Mandala, official airline kita pada pagi itu. Dua pasang mbak yang tingginya 170 cm menyambut para calon penumpang yang perlu informasi. Setelah check in dengan “online ticket” dan menaruh tas-tas kami yang berat di bagasi, kamipun membayar airport tax Rp 30.000 seorang dan menaiki escalator menuju gate C3..
It’s Mandala, not Air Asia. Jadi ruang tunggu penumpang C3-pun juga terlihat sepi. Banyak tempat duduk kosong, dan the best of all story.. semua penumpang dengan tempat duduk no. 1 sampai 15 diminta duduk di wing sebelah kanan, sedangkan nomor 16 sampai 30 diminta duduk di sebelah kiri. Nice arrangement !
Lima belas menit sebelum pukul 07.00 kamipun diminta boarding. Hal yang saya senangi ketika boarding, yaitu adanya “belalai gajah” alias “garbarata” memang benar-benar ada di Mandala ini (not for Air Asia !). Akhirnya kamipun masuk perut pesawat disambut pramugari yang berbaju batik mirip “The Singapore Girl”-nya Pierre Balmain, tapi dengan warna hijau kebiruan. Perut pesawat Airbus A320 ini begitu lebar dan begitu bersih dengan warna krem agak putih. Stiker petunjuk di tempat duduk juga ditulis dalam bahasa Indonesia, Inggris dan Perancis. Wah..jangan-jangan pesawat ini masih “fresh from the oven” karena baru keluar dari hanggar pembuatannya di Toulouse, Perancis..
Cerita tentang Mandala akan saya tulis tersendiri. Everything is so perfect, dengan pramugari berwajah Winona Ryder menyapa ramah waktu menerangkan cara penggunaan pelampung keselamatan.. Everything is so perfect, hanya saja saya merasa pesawat bergerak ke arah barat dari tadi seolah mau terbang ke Medan atau Singapura padahal kan kita terbang ke Yogyakarta di sebelah timur ?
Tepat pukul 07.50 pesawatpun soft landing di Bandara Adisucipto Yogyakarta. Kamipun keluar dari perut pesawat, menuruni tangga pesawat dan berlima menari-nari kecil sambil menirukan salah satu iklan…”Yogya…Yogya…Yogya !!!”. Penumpang lainnya acuh tak acuh melihat serombongan bapak-bapak bergaya seperti anak muda. Mungkin mereka sudah melihat ribuan kali peristiwa seperti ini, yaitu menirukan iklan yang terkenal itu..
Pak Yudi-pun membuat kontak dengan pak pengemudi dari perusahaan client yang bakal menjemput kita di Yogya. “Pak sampai mana pak ?”. “Saya sudah lewat dari Solo pak, 40 menit lagi sampai Yogya”, kata bapak pengemudi di seberang telpon. Yah, padahal airport Adisucipto cukup bagus transport intermoda connection-nya. Ada kereta api yang stasiunnya bisa dicapai dengan hanya menyeberang barang 15 meter (jika ke arah Solo) atau menyeberang lewat underpass (jika ke arah Yogya). Ada bus Yogya Express ber-AC yang miniatur dari busway di Jakarta. Pokoknya asyik lah…(Sebenarnya kalau Pak Wito belum sampai Solo kami mau naik KA Pramex saja ke Solo)…
Pak Wito-pun akhirnya datang, dan kami berlima menata diri dan bagasi kami di Innova 2.0 G ini. “Mau lewat mana pak ?”, tanya Pak Wito ramah. “Anu pak…lewat Tawangmangu saja !”..Sambil lewat kota Solo kamipun mampir di Serabi Notosuman untuk beli serabi. Satu pak serabi “rasa original” dihargai Rp 17.000 dan satu pak yang berasa “coklat” dihargai Rp 18.000. Satrio yang orang asli Solo-pun berpromosi, “Siapa yang ingin jadi pejabat, sudah semestinya makan serabi Notosuman dulu sebagai syarat”. Wah, ini kayak bunyi iklan di TVRI jaman dulu….hehehe…
Akhirnya kami lewat Tawangmangu yang siang itu belum diselimuti kabut sehingga kami bisa melihat pemandangan indah sepanjang jalan. Saya dengar bahwa rute Tawangmangu-Sarangan yang dulu jalannnya sangat curam ini sudah dibuatkan jalan tembus dengan maksud supaya tidak terlalu curam…
Akhirnya di tengah perjalanan ke Madiunpun kami berhenti di jalan tembus baru menggantikan jalan menanjak 43 derajat yang ada sebelumnya. Waktu untuk berfoto-foto di atas Telaga Sarangan yang siang itu agak kurang mistisnya karena tidak ada kabut dan terlihat sangat sepi…
“Yaaaa….ucapkan cheeeeeseburgeeeeer”, kata Satrio yang memotret saya…
Sayapun menyilangkan tangan, di belakangnya pemandangan Telaga Sarangan, dengan rambut warna perak yang mencerminkan berapa banyak rumus yang saya simpan di memori otak saya (konon, saya pernah bilang 1 uban di rambut saya sama dengan 1 rumus yang saya simpan di otak saya)…
Hahahaha….
(Ini foto thumbnail, atau versi kecil dari foto. Untuk melihat foto ukuran full size, tinggal di-klik dua kali….)

Categories: Uncategorized

Oleh: agussuharto | 12 Mei 2009

Jalan Tembus Cemorosewu Sarangan

MAGETAN,SELASA-Proyek jalan tembus Sarangan-Cemorosewu di Kabupaten Magetan sepanjang 10,7 kilometer yang dijadwalkan tuntas tahun ini diperkirakan baru bisa tuntas tahun depan.

Tersendatnya pengerjaan bagian jalan yang menjadi tanggung jawab pemerintah pusat menjadi penyebabnya.

Berdasarkan data yang diperoleh dari Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Magetan, Selasa (27/1), dari rencana jalan tembus sepanjang 10,7 kilometer, jalan sepanjang 5,3 kilometer yang menjadi tanggung jawab Pemerintah Kabupaten Magetan dan Pemerintah Provinsi Jawa Timur telah selesai pembangunannya .

Sejak proyek jalan tembus dilaksanakan tahun 2001 sampai tahun 2008 telah dikeluarkan dana sebesar Rp 56,1 miliar. Diperkirakan dibutuhkan dana sebesar Rp 16,4 miliar lagi untuk menyelesaikan bagian jalan yang belum rampung.

Banyak dana untuk infrastruktur pada tahun 2008 dialihkan pemerintah pusat untuk penanggulangan bencana. “Imbasnya, proyek jalan tembus terpaksa molor dan perkiraan baru bisa diselesaikan tahun 2010,” ujar Kasie Jembatan Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Magetan, Mochtar.

Penyelesaian jalan yang menembus wilayah hutan pinus Kesatuan Pemangkuan Hutan Lawu seluas 109.250 meter persegi itu sangat penting artinya tidak hanya bagi Magetan tetapi juga bagi Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Pasalnya, pengguna jalan dari Jawa Tengah bagian selatan yang hendak ke Jawa Timur bagian selatan tidak perlu lagi memutar jalan melalui Mantingan, Ngawi. Begitu pula wisatawan dari Jawa Tengah yang hendak ke kawasan wisata Telaga Sarangan di Magetan. “Bisa menghemat waktu perjalanan dua jam sampai tiga jam,” tambah Mochtar .

Selain itu, tuntasnya jalan ini bisa menekan besarnya potensi kecelakaan di jalur lama Sarangan-Cemorosewu. Pasalnya jalur lama dipenuhi dengan tikungan dan tanjakan/turunan yang tajam.

Tercatat sedikitnya sudah dua kali kecelakaan terjadi (pada libur Lebaran tahun 2008 dan libur Imlek Tahun 2009) dengan jumlah korban yang banyak atau lebih dari lima di jalur lama Sarangan-Cemorosewu. Korban-korban ini adalah wisatawan dari Jawa Tengah yang mau berwisata ke Sarangan.

Oleh: agussuharto | 12 Mei 2009

Api Di Bukit Menoreh

WISATA ADBM

peta_mataram
LOKASI: (Akan ditata secara alfabetik)

Jalatunda :
Asal tokoh Alap-alap Jalatunda, pengikut Tohpati yang akhirnya mati di tangan Sidanti dalam perang tanding di Padepokan Tambak Wedi. Jalatunda termasuk ke dalam tlatah Kabupaten Klaten kira-kira 5 (lima) km dari Jatinom mengarah ke jalan raya Solo-Jogja. Jalatunda terkenal dengan tempat pemandian alami dengan mata air melimpah ruah. Konon jika mata airnya tidak disumbat dengan sebuah gong oleh Sunan Kalijaga, maka niscaya daerah tersebut dan sekitarnya berubah menjadi telaga atau danau.

Jati Anom :
Sekarang namanya Jatinom, sebuah kota kecamatan yang berada di sebelah timur utara kota Klaten ke arah Boyolali. Secara administratif masuk Kabupaten Klaten. Di daerah ini terkenal acara Ongkowiyu atau Yoqowiyu (nggak tahu istilah dari mana, mungkin dari Arab). Salah satu acaranya rebutan kue apem di panggung depan sebuah masjid. Ongkowiyu diselenggarakannya setiap bulan Ruwah (Sya’ban). Di Jatinom terdapat petilasan para wali berupa 3 buah goa (?) yang masing-masing punya nama sendiri2.

Jipang :
Petilasan Kadipaten Jipang Panolan terletak di desa Jipang, berjarak sekitar 8 kilometer dari kota Cepu. Petilasan ini berbentuk makam Gedong Ageng yang dahulu merupakan bekas pusat pemerintahan dan bandar perdagangan Kadipaten Jipang. Di tempat ini bisa ditemukan Petilasan Siti Hinggil, Petilasan Semayam Kaputren, Petilasan Bengawan Sore, Petilasan Masjid, dan makam kerabat kerajaan waktu itu, antara lain makam Raden Bagus Sumantri, Raden Bagus Sosrokusumo, Raden Ajeng Sekar Winangkrong, dan Tumenggung Ronggo Atmojo. Di sebelah utara Makam Gedong Ageng dapat ditemukan Makan Santri Songo. Disebut demikian karena di situ dapat ditemukan sembilan makam santri dari Kerajaan Pajang yang dibunuh oleh prajurit Jipang karena dicurigai sebagai telik sandi atau mata-mata pemerintahan Pajang. Kadipaten Jipan terkenal di masa pemerintahan Adipati Aryo Penangsang (Aryo Jipang) yang memiliki senjata sakti keris Brongot Setan Kober dan kuda tunggangan Gagak Rimang.

Mangir :
Merupakan Tanah Perdikan yang terletak di Kabupaten Bantul sekarang, tepatnya di sebelah barat daya kabupaten Bantul. Dari Palbapang (1 km sebelah selatan dari pusat kota bantul) berjalan 3 km arah barat, sampailah di daerah Mangir. Di sudut kampung ini masih ada tonggak batu pengikat gajah.
Mangir menjadi terkenal ketika dipimpin Ki Ageng Mangir Wonoboyo yang terang-terangan menolak kebesaran Panembahan Senopati selaku Raja Mataram. Pada akhirnya Ki Ageng Mangir dapat ditaklukkan oleh Panembahan Senopati. Penaklukan Mangir itu sendiri merupakan kisah yang sangat menarik.

Menoreh :
Bukit Menoreh adalah daerah perbukitan yang membentang di wilayah utara Kabupaten Kulon Progo, sebagai batas antara kabupaten tersebut dengan Kabupaten Purworejo di sebelah barat dan Kabupaten Magelang di sebelah utara. Bukit Menoreh adalah basis pertahanan Pangeran Diponegoro bersama para pengikutnya dalam berperang melawan Belanda.

Mentaok, Alas atau Hutan Mentaok: sekarang telah menjadi Kota Gede di Yogyakarta. Kota Gede merupakan pusat pemerintahan Kerajaan Mataram pada saat dipimpin Panembahan Senopati (Sutawijaya). Di Kota Gede terdapat makam Ki Gede Pemanahan, Panembahan Senopati, dan Ki Ageng Mangir. Disana juga ada dinding batas keraton yang rusak terkena pentalan tubuh Rd. Rangga saat Panembahan Senopati menyentilnya (Rd. Rangga adalah putra pertama P. Senopati dg Rara Semangkin). Juga ada watu gilang yang menjadi singgasana P. Senopati dan batu tersebut sedikit melesak membentuk bundaran kepala. Keraton Mataram yang ada sekarang adalah pindahan dari Keraton lama sejak jaman Panembahan Anom (pengganti P. Senopati sebagai raja Mataran ke II).

Pajang :
Bekas kraton Pajang terletak di daerah Solo, yaitu Kelurahan Pajang, Kecamatan Laweyan, Surakarta. Terletak di sebelah Selatan Kartosuro sekarang. Dari Kraton Kasunanan yang sekarang ke arah Barat. Kerajaan pajang tidak bertahan lama, hanya sempat satu raja saja yaitu Hadiwijaya (lebih lanjut baca Sutawijaya).

Petilasan Kerajaan Pajang terletak di perbatasan Kabupaten Sukoharjo dan Kota Solo, yaitu di Kampung Sanggrahan, Kelurahan Makamhaji, Kecamatan Kartasura, Sukoharjo. Di dalam kompleks terdapat bangunan sederhana berupa pendopo, langgar, dan secuplik lahan yang disebut Gedung Pusoko. Di sini dipercaya masih tersimpan sisa-sisa pusaka peninggalan Kerajaan Pajang yang dipendam di dalam tanah.

Note: Mohon koreksi, di manakah Petilasan Pajang yang sebenarnya: Desa Pajang Kec. Laweyan, atau Kampung Sanggrahan, Makamhaji.

Pati :
Semula merupakan Tanah Perdikan yang dihadiahkan oleh Sultan Hadiwijaya dari Pajang kepada Ki Penjawi karena bersama-sama Ki Gede Pemanahan berhasil membunuh Arya Penangsang dari Jipang. Kini Pati adalah sebuah kabupaten di Jawa Tengah yang terletak di sebelah Utara Solo.

Prambanan :
Adalah sebuah kecamatan di Kabupaten Klaten dan merupakan wilayah perbatasan Jawa Tengah dengan Yogyakarta

Sangkal Putung
Merupakan daerah yang letaknya di “pojok” kota Klaten ke arah luar kota. Sekarang setelah Solo-Jogja sudah tersambung, dusun kecil Sangkal Putung praktis sudah tidak nampak karakteristiknya. Sangkal Putung saat ini menjadi kawasan ramai di kota Klaten, ada terminal busnya juga.

Selo:
Sekarang merupakan obyek wisata spiritual terletak di Kec. Tawangharjo, 10 km sebelah timur kota Purwodadi, Kab Grobogan. Nama Desa Selo nunggak semi dengan Ki Ageng Selo (ayah dari Ki Gede Pemanahan), seorang tokoh penting karena dipercaya sebagai cikal bakal yang menurunkan raja-raja di tanah Jawa. Di Desa Selo itulah teletak makam Ki Ageng Selo. Pemujaan kepada makam Ki Ageng Selo sampai sekarang masih ditradisikan oleh raja-raja Surakarta dan Yogyakarta. Sebelum Gerebeg Mulud, utusan dari Surakarta datang ke makam Ki Ageng Selo untuk mengambil api abadi yang selalu menyala di dalam makam tersebut. Begitu pula tradisi yang dilakukan oleh raja-raja Yogyakarta. Api dari sela dianggap sebagai api keramat. Ada dongeng bahwa Ki Ageng Selo adalah seorang sakti yang dipercaya sanggup menangkap petir dan mengikatnya di salah satu pintu Masjid Demak. Orang-orang tua dulu mengajarkan kepada anaknya sebuah mantra untuk menolak sambaran gluduk. Pada saat melihat tatit agar merapal mantra “anak putu Ki Ageng Selo” sehingga setan ora doyan, belis ra ndulit, gluduk ra nyruduk. Benar tidaknya, wallahua’lam.

Semangkak :
Kalau kita menyusuri Jl. Merapi (jalur searah dari Barat ke Timur) melewati SMU 1 Klaten, terus Stadion Trikoyo, bablas sampai pertigaan Sidowayah, belok kiri terus belok kanan (ikuti jalur ke arah Solo),
setelah belok kanan itu lurus sampai mentok. Di sebelah kiri jalan pentokan itulah daerah Semangkak.
Jadi letaknya kira-kira 1 km setelah Stadion Trikoyo.

Tambakbaya, Alas :
Menilik deskripsinya, Alas Tambakbaya terletak sebelah Barat Prambanan dan sebelah Timur Mentaok. Besar kemungkinan adalah yang sekarang kampung Tambakbayan di sekitar tlatah Janti.

Tambak Wedi :
Sementara ini kami belum bisa mendeskripsikan lokasi Padepokan Tambak Wedi

Older Posts »

Kategori